Oleh:
Mohammad Reza Fauzi
“Pangan
adalah soal hidup dan matinya suatu bangsa”, begitulah pernyataan Bung Karno
dalam Pidato Peletakan Batu Pertama Institut Pertanian Bogor . Tak bisa
dipungkiri bahwasanya pangan merupakan sektor yang sangat penting dan
strategis, terlebih lagi pangan merupakan kebutuhan paling dasar dari manusia
untuk tetap bisa melanjutkan kehidupanya. Dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan disebutkan, bahwa pangan merupakan
kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hask asasi setiap rakyat
Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk
melaksanakan pembangunan nasional. Selain itu, Undang Undang Nomor 7 tahun 1996
juga menyebutkan pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan,
pengendalian dan pengawasan, sementara masyarakat menyelenggarakan proses
produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai
konsumen yang berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman,
bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli mereka. Hal ini berate
pemerintah diamanantkan untuk berkewajiban untuk menjamin terpenuhinya
kebutuhan akan pangan bersama-sama dengan masyarakat.
Beberapa
tahun terakhir, sektor pertanian nasional mengalami permasalahan dan kemunduran
yang sangat memperihatinkan, khususnya pada kondisi kemandirian pangan
nasional. Hampir setiap bulan di pemberitaan media massa, satu per satu
komoditas pertanian mengalami lonjakan harga dan kelangkaan di pasar, mulai
dari kentang, cabai, bawang, kedelai, daging sapi, dan lainya. Berdasarkan
data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), berikut beberapa komoditas
pangan yang masih dimpor dari negara lain untuk kurun Januari sampai Juli 2013[1]:
Komoditas
|
Nilai Impor
|
Volume Impor
|
Negara Asal
|
Beras
|
US$
137,19 juta
|
266,88
juta kg
|
Vietnam,
Thailand, Pakistan, India, Myanmar, dan lainnya.
|
Jagung
|
US$ 275,8
juta
|
897,35
juta kg
|
India,
Argentina, Brasil, Thailand, Paraguay, dan lainnya
|
Kedelai
|
US$
670,46 juta
|
1,09
miliar kg
|
Amerika
Serikat, Malaysia, Argentina, Kanada, Paraguay dan lainnya
|
Biji Gandum dan Meslin
|
US$ 1,46
miliar
|
3,9 miliar
kg
|
Australia,
Kanada, India, Amerika Serikat, Singapura dan lainnya
|
Tepung Terigu
|
US$
40,89 juta
|
92,75
juta kg
|
Srilangka,
India, Ukraina, Turki, Jepang dan lainnya
|
Gula Pasir
|
US$ 30,42
juta
|
51,31 juta
kg
|
Thailand,
Malaysia, Australia, Selandia Baru, Korea Selatan dan lainnya.
|
Gula Tebu
|
US$
1,04 miliar
|
1,98
miliar kg
|
Thailand,
Brasil, Australia, El Salvador, dan Guatemala
|
Jenis lembu
|
US$ 151,69
juta
|
55,13 juta
kg
|
Australia
|
Garam
|
US$
55,9 juta
|
1,2
miliar kg
|
Australia,
India, Selandia Baru, Jerman, Denmark dan lainnya
|
Bawang Putih
|
US$ 236,06
juta
|
291,45
juta kg
|
China,
Vietnam dan India
|
Cabe segar dan kering
|
US$
13,52 juta
|
10,93
juta kg
|
India,
China, Thailand, Korea Selatan dan Spanyol
|
Cabe awetan
|
US$ 1,27
juta
|
1,32 juta
kg
|
Thailand,
China, Malaysia dan lainnya
|
Ubi Kayu
|
US$
38.380
|
107.798
kg
|
Thailand
|
Kentang
|
US$ 14,9
juta
|
22,28 juta
kg
|
Australia,
Kanada, China, Singapura dan Inggris
|
Susu
|
US$
459,36 juta
|
123,25
juta kg
|
Selandia
Baru, Amerika Serikat, Australia, Belgia, Jerman dan lainnya
|
Hal
ini mengindikasikan bahwa kemandirian pangan nasional memiliki kondisi yang sangat
rapuh. Selain rapuhnya kondisi kemandirian pangan nasional, kondisi ketahanan
pangan nasional juga tidak kalah memprihatinkan. Berdasarkan data Global Food Security Index
2012, yang dirilis Economic Intelligent Unit, indeks keamanan pangan Indonesia
berada di bawah 50 (0-100). Posisi Indonesia jauh lebih buruk dari negara
tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filipina. Tiga faktor yang
disoroti dalam penelitian ini yaitu angka kekurangan gizi, berat badan anak dan
tingkat kematian anak di suatu negara[2].
Undang-undang
No 18 Tahun 2012 Tentang Pangan yang disahkan pada bulan Oktober 2012 kemarin
merupakan revisi dari Undang-Undang
Pangan No.7/1996 yang bertujuan agar dapat mengatasi problem nasional di
bidang pangan, justru menimbulkan
masalah baru. Pada UU 18/2012 tentang Pangan ini adalah mengenai impor, dalam
Pasal 36 ayat 1 disebutkan Impor Pangan hanya dapat dilakukan apabila Produksi
Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam
negeri. Seharusnya kata “tidak dapat
diproduksi didalam negeri” diganti dengan untuk mengatasi masalah pangan
atau krisis pangan. Hal ini untuk menjamin produk impor pangan tidak
menyebabkan persaingan dengan pangan produk lokal dan juga mencegah
ketergantungan pangan yang tidak bisa diproduksi di dalam negeri. Dan dalam
Pasal 39 disebutkan Pemerintah menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan
yang tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan
produksi, kesejahteraan petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku usaha pangan
mikro dan kecil[3].
Inkonsistensi ini menimbulkan adanya liberalisasi pertanian, peluang untuk
melakukan impor, hingga dimungkinkan terjadinya kartel perdagangan. Selain itu,
kebijakan dan politik pangan sangat berorientasi pada konsumen, dengan demikian
orientasi pemenuhan kebutuhan pangan juga bersifat praktis, yakni dengan
menutupi kekurangan kebutuhan domestic dengan kebijakan impor.
Perlu
disadari oleh semua kalangan bahwasanya rapuhnya kondisi kemandirian pangan
nasional dan tingginya ketergantungan akan pangan impor dapat membuat bangsa
yang kita cintai ini susah maju dan mandiri. Mewujudkan kemandirian pangan
bukanlah suatu angan angan yang sulit untuk kita capai. Kunci dari dari
terwujudnya kemandirian pangan ialah adanya kesungguhan dan political will dari pemerintah untuk
menangani permasalahan pangan yang telah berada dalam “area merah” ini. Selain
adanya kesungguhan dan political will
dari pemerintah, pembangunan pertanian nasional juga harus berorientasi pada pencapaian
ketahanan pangan dan swasembada pangan strategis, serta memperhatiakn
kesejahteraan petani.
Pengembangan
dan optimalisasi penggunaan dan produksi sumber daya pangan lokal juga dapat
menjadi solusi jitu untuk mewujudkan kemandirian pangan nasional. Indonesia
dianugrahi oleh kekayaan biodiversitas yang memiliki potensi pangan lokal
sebagai sumber karbohidrat selain beras, seperti jagung, ubi kayu, sagu,
ganyong, dan masih banyak lagi. Selain itu dalam kearifan lokal di beberapa
daerah sebenarnya terdapat banyak sekali jenis makanan pokok, tetapi kebijakan
“beras-isasi” orde baru dan “Raskin”, sebagai kebijakan subsidi pangan untuk
masyarakat ekonomi lemah, membuat pangan lokal tersebut tergusur dan mulai
ditinggalkan. Dengan demikian, tinggilah angka ketergantungan kita terhadap
beras sebagai makanan pokok nasional. Di samping itu, gandum dan terigu yang
pada faktanya tidak di produksi di dalam negeri, memiliki jumlah konsumen
dengan kategori tinggi yang turut memperburuk kondisi pangan nasional. Maka,
diversifikasi pangan merupakan langkah yang tepat untuk menguranggi
ketergantungan akan beras dan gandum dan mendorong perkembangan dan
optimalisasi penggunaan pangan lokal.
Perlu
adanya suatu gerakan atau kampanye yang dapat mengubah mind set, pola konsumsi, dan pandangan masyarakat akan produk dan
komoditas pangan non-beras dan non-gandum, seperti gerakan “One Day No Rice” yang dicetuskan oleh
Pemerintah Kota Depok. Sosialisasi dan dikampanye gerakan diversidikasi pangan
harus dilakukan oleh pemerintah pusat melalui kementrian pertanian dan
pemerintah daerah. Dimulai dari masyarakat kota yang diajak mengenal dan
mencoba aneka macam pangan lokal alternatif (non-beras dan non-gandum) yang
sehat dan mengenyangkan untuk penganti beras di rumah tangga mereka dengan pola
konsumsi awal 1:7 (sehari mengkonsumsi pangan alternative dalam seminggu). Jika
masyarakat telah berpartisipasi secara sukarela dalam gerakan diversifikasi
pangan maka, gerakan ini akan menular kepedesaan hingga nasional. Selain partisipasi
masyarakat, pelaku usaha dan industry juga harus mengembangkan produk olahan
pangan lokal. Pelaku usaha dan industry memilki peran dalam menginovasikan
pangan lokal menjadi suatu produk baru yang memiliki nilai tambah, nilai
manfaat, dan daya saing yang lebih. Dalam usaha diversifikasi pangan, para
akademisi memiliki peran dalam penelitian dan riset pengembangan potensi pangan
lokal serta melakukan pengembangan teknologi produksi dan pengolahan komoditas
dan produk pangan lokal. Berkaitan dengan kebijakan subsidi pangan bagi
masyarakat dengan ekonomi lemah, pemerintah harus merubah kebijakan Raskin
(beras bersubsidi) menjadi Pangkin (pangan bersubsdi). Dengan kebijakan pangan
bersubsidi, masyarakat yang berhak menerima bantuan subsidi pangan tidak lagi
terkesan dipaksa untuk menerima beras sabagai makanan pokoknya. Bantuan pangan
diberikan sesuai dengan makanan pokok yang terdapat dalam kearifan lokal
setempat. Dengan demikian, kearifan lokal akan makanan pokok akan terus
lestari, perbaikan gizi akan terlaksana, ketergantungan akan beras dan gandum
akan berkurang, dan kemandirian pangan nasional akan terjuwud.
Dalam
usaha untuk mewujudkan kemandirian pangan, menjadikan Indonesia sebagai negeri
mandiri pangan, dibutuhkan partisipasi, komitmen, dan sinergi dari pemerintah,
pelaku usaha dan industry, akademisi, dan masyarakat. Karna sejatinya, selama
perut manusia masih ada di dapan, selama manusia masih membutuhkan makan untuk
melanjutkan hidupnya, pangan akan selalu menjadi hal yang penting. Tanggung jawab
untuk mencari solusi dan menyelesaikan permasalahan pada sektor pertanian,
khususnya pangan bukanlah semata-mata tanggung jawab pemerintah, insan dan
mahasiswa pertanian, tetapi ini semua adalah tangung jawab kita semua sebagai
warga negara. Karena masalah pertanian
merupakan masalah kebangsaan.
[1]Diakses
17 Desember 2013 dari http://bisnis.liputan6.com/read/682206/daftar-lengkap-28-komoditas-pangan-yang-diimpor-ri
[2] Diakses
17 Desember 2013 dari http://www.baratamedia.com/read/2013/10/01/43741/pemerintah-melalaikan-kemandirian-pangan
[3] Diakses
17 Desember 2013 dari http://www.spi.or.id/?p=5841
0 komentar:
Posting Komentar